Sunday, July 04, 2010

TPI Makin Direbutin Aja....



Beberapa waktu belakangan, muncul perdebatan antara pemilik lama Televisi Pendidian Indonesia (TPI) dan pemilik barunya. Yang lama bilang TPI masih jadi miliknya, yang baru bilang TPI sudah jadi miliknya.

Selama keributan ini tetap menjamin tayangan TPI tetap mengudara (terutama Ipin-Upin yang sedang digilai anak dan keponakan saya serta sekian banyak pemirsa TPI lainnya-katanya tayangan ini mendongkrak rating TPI) saya sih tidak peduli dengan perebutan kepemilikan saham TPI ini. Bagi saya, TPI yang siaran dengan menggunakan salah 1 ranah publik, yaitu frekuensi, tetaplah milik kita semua selaku khalayaknya.

Sayang keoptimisan bahwa TPI adalah milik publik terpaksa menyurut. Ini terjadi saat TPI berulang kali menayangkan "running text" dengan berita yang (menurut saya) cenderung memihak kepada salah 1 pemilik TPI (Ayo tebak...pemilik yang mana yang diuntungkan oleh isi running text tersebut?)

Bukankah khalayak sebagai pemilik ranah publik berhak memperoleh keseimbangan dalam pemberitaan? Siaran televisi dengan menggunakan ranah publik, demi kepentingan seluruh masyarakat? Ah...rasanya itu cuma mimpi saya semata

Friday, July 02, 2010

Money...money...money...

Kali ini sengaja saya pinjam judul lagu ABBA. Beberapa hari lalu, dalam situasi tak terduga, saya menerima curhat colongan dari seorang calon artis.

Intinya dia berniat promo album pertamanya. Si calon artis ini kaget waktu dengar bahwa supaya lagunya diputar di sebuah stasiun radio yang lagi kondang di ibukota, produsernya harus bayar sekitar 60 juta. Dengan membayar sebesar itu, lagunya akan diputar SATU KALI sehari dalam satu bulan di stasiun tersebut.

Si calon artis tidak paham, apakah nominal sebesar 60 juta itu adalah uang sah yang masuk ke kas stasiun yang bersangkutan atau "uang under table" alias uang "pelicin" yang diterima oknum stasiun yang bersangkutan. Nantinya oknum tersebutlah yang akan memastikan lagu si artis disiarkan.

Uang under table yang dilungsurkan produser atau artis dan manajemennya ini biasa (baca: bukan berarti legal, ya) dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Hal ini sempat beken di Amerika Serikat dengan istilah "payola".

Mungkin juga pihak stasiun radio tersebut memang memiliki "paket" penyiaran lagu dengan perjanjian tertentu. Misalnya: pihak produser atau manajemen artis bisa membayar airtime (waktu siaran yang digunakan) sehingga lagunya akan disiarkan radio yang bersangkutan. Jadi kalau lagunya berdurasi 3 menit dan harga pemasangan iklan di stasiun itu 500 ribu rupiah/menit, maka untuk menyiarkan lagunya 1 kali, produser atau manajemen artis harus membauar 3x500rb.

Sayang si calon artis kurang detil menceritakan mekanisme pembayaran 60 juta rupiah untuk penyiaran lagunya itu. Saya pun tak bisa menyimpulkan apa yang terjadi di stasiun radio yang lagi kondang tersebut. Apakah uang yang dimaksud adalah uang above atau under table juga tak berani saya analisa lebih lanjut.

Yang jelas, mau di atas atau di bawah meja, curhat colongan ini menandakan bahwa sebenar-benarnya ada sejumlah lagu yang kita simak di radio (jangan-jangan di tv juga????) bukanlah disiarkan berdasarkan seleksi manajemen stasiun yang bersangkutan. Bukan juga didasarkan pada pilihan pendengar. "It's all about the money", seperti judul lagunya Meja.

Seperti kata Madonna, "Cause we are living in a material world...." Maka radio ( dan tv???) sebagai media massa, tak sanggup pula melaksanakan salah 1 perannya yaitu sebagai sarana edukasi bagi khalayak. Tak heran selera musik kita pun menjadi seragam.

Terima kasih untuk para oknum yang telah sengaja ataupun tak sengaja mengedukasi kami sehingga memiliki selera musik yang seragam. Khalayak yang sebenar-benarnya bergantung pada kalian, hai pekerja media...agar dapat memiliki wawasan yang lebih beragam

Friday, June 11, 2010

ATM

Barusan nonton rcti. Saya kurang jelas nama programnya hanya ada backdrop bertuliskan idola cilik.

Di panggung outdoor, 3 penyanyi cilik berpenampilan dewasa menyanyi. Rambut berdiri karena diberi gel, bergaya busana ala musisi dewasa dengan membawakan lagu yang saya belum pernah dengar sebelumnya (sorry for my low musicality).

Jadi ingat istilah yang barusan saya dengar dari Prof. Rhenald Kasali di acara bedah buku yang saya kunjungi. ATM alias Amati, Tiru, Modifikasi. Kata Prof Rhenald, banyak orang Indonesia yang sekedar melakukan konsep ATM dalam melakukan aktivitasnya (bisnis dan pribadi).

Mudah-mudahan cuma saya yang berburuk sangka dengan penampilan para penyanyi cilik tadi. Walau ingin rasanya bisa menyodorkan playlist lagu anak berkualitas pada putri saya yang berusia 3 tahun. Tentunya juga dengan penyanyi yang terlihat seperti anak seusianya.

Thursday, May 27, 2010

Radio riwayatmu kini...(menurut saya, loh!)

Waktu masih kerja di radio, nggak pernah kebayang apa ya rasanya kalau datang waktunya pensiun? Atau lebih parah lagi bagaimana ya rasanya kalau kontrak gue nggak diperpanjang?

Ternyata setelah beberapa tahun lewat dari hari di mana saya memutuskan berhenti bekerja di radio, rasanya...baik-baik aja tuh! :)) Sering orang bertanya: " nggak kangen siaran?" Jawaban saya (sampai tulisan ini di posting): "Nggak tuh". Jawaban ini rasanya tidak sejalan dengan cita-cita saya sejak kecil: menjadi broadcaster. Padahal banyak teman-teman "veteran" broadcaster yang bilang: "Siaran itu ngangenin, loh!"

Hari ini saya jadi terpikir untuk bikin daftar, kemungkinan-kemungkinan yang bikin saya tidak rindu kembali bekerja di stasiun radio:
1. Saya malu saat harus menyiarkan informasi yang saya sendiri tidak yakin benar (contoh: waktu membaca iklan baca/adlibs atau menginterview klien saat talkshow blocking time berbayar). "jadi jangan lupa beli ya produk pemutih wajah ini, dijamin pasti kulit anda makin mulus". (yeah right :p)
2. Saya merasa konyol jika harus memutarkan lagu yang menurut saya "basi". "The audience loves it, just put it on airplay! Or else i'll cut your contract Said the boss :p
3. (ini analisa suami saya) Saya kehilangan kecintaan pada radio saat saya kehilangan ayah saya. (My dad was a well known radio broadcaster & one of the pioneer of commercial radio station in Indonesia).

Nggak penting juga buat tahu alasan saya tidak kangen siaran di radio (sampai tulisan ini di posting). It's just a list.

Sekarang sebagai pendengar radio pun rasanya saya tidak merasa kehilangan saat tidak mendengarkan siaran radio dalam jangka waktu yang panjang. Sangat aneh! Sebab dulu saya selalu tertidur bersama (siaran) penyiar favorit saya.

Bahkan beberapa minggu lalu dihadapan mahasiswa saya, saya bilang: "I don't listen to radio anymore. It's too boring".

Sebegitu putusnya kah hubungan saya dengan dunia siaran radio? Seandainya, format siaran radio (di jakarta) bisa lebih beragam, barangkali saya akan rindu (bekerja & menjadi pendenar) radio. Keseragamanlah yang membuat format radio yang "sangat saya" harus "disesuaikan dengan selera khalayak (walau khalayak yang dimaksud nampaknya adalah khalayak pengiklan & pemodal, bukan pendengar). Keseragaman jugalah yang membuat saya patah arang untuk sekedar menjadi pendengar loyal sebuah siaran radio.

Saat ini, rasanya saya mendengar sayup-sayup suara ayah saya berteriak-teriak: "Karena menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi, siaran broadcast harus menjamin diversity of ownership &diversity of content".

* mengenang ulang tahun ke 71 Mama tercinta: Zainal "Bung Daktur" A Suryokusumo; Praktisi, Pendidik, dan Aktivis dunia penyiaran (25 mei 1939- 30 agustus 2007). I really miss the discussion session we use to have :(

Tuesday, March 03, 2009

MELEK FACEBOOK 


Awal semester baru, saya dapat jatah membimbing mahasiswa skripsi di salah satu kampus tempat saya mengajar. Seperti yang sudah saya duga, facebook jadi tema ter-hot. Baru juga satu kali konsultasi judul dr sekian banyak mahasiswa yang saya bimbing, sudah ada 4 yang mengajukan judul berkenaan dengan facebook. 

Salah satu mahasiswa saya menjelaskan alasannya tertarik meneliti facebook adalah karena dia termasuk seorang "korban" facebook. "Gara-gara facebook saya putus sama pacar", jelasnya sambil pasang muka sedih :( Nggak jelas juga kasus mahasiswa saya apa, karena saya sengaja tak memperpanjang "curhat-an" mahasiswa itu (bukannya nggak mau dicurhatin,  soalnya dibelakang & samping mahasiswa ini sudah berjejer mahasiswa-mahasiswa lain yang mau bimbingan skripsi) 
 

Itu baru satu contoh "korban" facebook. Contoh lainnya, saya dapat dari milis keluarga saya (dalam bentuk pesan forward).  Isinya bercerita tentang kasus seorang mahasiswi yang data dirinya di facebook (karena terlalu lengkap) di copy-paste "oknum" tertentu & digunakan untuk membuat sebuah blog tanpa sepengetahuannya. 

Satu lagi nih, yang konyol banget. Seorang dosen pernah bercerita di depan forum yang dihadiri dosen-dosen lainnya. Dia bilang, mahasiswanya ada yang ngobrol di "wall" facebook dengan temannya & mendiskusikan bahwa dia sudah selesai menyontek tugas kuliahnya. Kebetulan, mahasiswa tersebut masuk di friends list sang dosen. Ketawan deh tugasnya hasil contekkan. 

Memang banyak manfaat situs sejenis facebook (barangkali sebanyak mudharat-nya). Mulai dari menemukan teman, guru, saudara, bekas pacar yang sudah lama hilang jejaknya. Branding bisnis atau diri sendiri. Bisa cek anak buah kerja beneran atau nggak (seperti sahabat saya yang rajin bener ngecek facebook anak buahnya. "Gue jadi tahu mana yang doyan up date facebook di jam kerja", katanya). Bahkan beberapa teman saya yang anaknya sudah pada ABG sengaja bikin account di facebook supaya bisa tahu aktivitas anaknya. 

Coba ketik nama saya, mau yang lengkap...mau yang nama bisnis di halaman facebook. Dijamin! Nggak bakal ketemu :)) Banyak teman & mahasiswa saya yang tanya, kenapa saya nggak punya facebook. Jawaban saya pendek saja, "Nggak pengen aja" (soalnya kalau saya jelaskan panjang-panjang lawan bicara saya sering kasih feedback yang jauh lebih panjang daripada jawaban saya :p)

Barangkali saya manusia bertipe anti-sosial. Soalnya dari trend "Friendster" pun saya nggak punya juga, tuh account di sana. Saya memang punya "Multiply" tapi alasan saya bikin account di situ adalah karena suatu hari saya menemukan tulisan mengenai almarhum ayah saya yang perlu "diluruskan" (menurut saya). Kejadian lah Tantri Suryokusumo punya Multipy :))  

Jawaban saya yang jujur nih...kenapa saya nggak punya facebook, friendster, atau situs sejenisnya adalah karena saya jengah! Aneh rasanya semua teman saya (atau yang ngaku jadi teman saya) bisa tahu tentang keadaan saya, suasana hati, atau melihat foto maupun video saya hanya dengan sekali klik. Banyak yang mentertawakan saya, "Ada teknologinya kaleee supaya nggak semua orang bisa "menelanjangi" lo!" 

Masalahnya, saya sadar keterbatasan pemahaman saya mengenai situs tersebut & teknologinya. Barangkali suatu hari saya akan punya account di situs-situs itu. Tentunya kalau saya memang membutuhkan situs tersebut & saya sudah melek teknologinya. Sudahkan anda melek facebook (& teknologi informasi lainnya?)  
FAST FOOD, OH...FAST FOOD 
(Sambungan nih!) 


Nyambung dari tulisan sebelumnya tentang stimulasi media & anak-anak, nih. Seorang teman yang menetap di Belanda, waktu mudik ke Jakarta beberapa hari yang lalu cerita, "Anak gue cuma mau makan .... (sambil menyebut salah satu merek fast food) selama di Jakarta." Lucunya, si anak rasanya bukan tertarik dengan rasa fast food tersebut. Soalnya, kata sang ibu, kalau kemasan fast food tersebut dibuka & makanannya disediakan di atas piring, anaknya tetap nggak mau makan. "Pokoknya dia harus liat ada huruf ...." , kata teman saya itu sambil menyebut huruf pertama fast food kedoyanan anaknya yang memang selalu ada di tiap kemasan produk fast food ini. 

Fast food...oh fast food....
  

Thursday, February 26, 2009

SEMUA ORANG  (TERMASUK PENGIKLAN) SUKA MAKANAN


Tulisan ini saya buat gara-gara baca headline berjudul Acara Kuliner Enggak Ada Matinya di http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/22/01232424/acara.kuliner.enggak.ada.matinya. Menurut artikel tersebut acara kuliner tetap bertahan di layar kaca. Rupanya, penggemar acara yang berkaitan langsung dengan urusan perut ini tergolong loyal, walau tidak berating tinggi. 

Tumben-tumbenan, ada acara berating tidak tinggi tapi tetap disiarkan di hampir seluruh televisi. Sebagaimana yang dikutip dalam headline kompas itu, salah satu Kepala Departemen PR Marketing televisi swasta bilang, acara kuliner memiliki segmen pasar yang cukup luas dan mampu menarik iklan.

Oh....saya kira saat ini televisi komersial sudah mulai mempertimbangkan needs audience. Ternyata tetap gara-gara iklan.... :D 



FAST FOOD, OH...FAST FOOD

Sebelum punya anak, saya menganggap tanggapan para aktivis terhadap bahaya promosi dan perilaku anak sebagai hal yang (lebih sering) mengada-ada. Sampai suatu hari, putri saya mukanya berbinar-binar melihat kotak bekas bungkus sebuah brand fast food di atas meja makan. "Kentang!" Katanya. 

Waduh...kok bisa, anak  belum 2 tahun (dan saat itu dia baru satu kali makan french fries fast food dari merek yang berbeda dengan yang dilihatnya di atas meja makan) paham bahwa kalau bungkus berbentuk seperti itu (baca: kotak kertas dengan bungkus-bungkus kecil kertas warna putih) sama dengan kentang yang pernah dimakannya beberapa waktu sebelumnya. 

Lebih ironis lagi, karena dalam kotak itu tidak ada sama sekali ketang. Memang benar fast food tersebut menjual juga kentang goreng. Tapi isi kotak itu saat dilihat anak saya sebetulnya adalah ati-ampla goreng (tahu kan fast food mana yang saya maksud? ;)) 

Bener juga ternyata, stimulasi melalui media sekecil apapun akan membuatnya ingat dengan sesuatu. Apalagi, coba deh perhatikan! Walau beda logo, hampir semua kemasan fast food mirip satu sama lain. 

Artinya, walau baru sekali makan fast food, sebenarnya ia sudah berulangkali melihat bungkus yang mirip dengan bungkus fast food yang pernah dimakannya itu melalui berbagi iklan dan juga saat jalan-jalan di Mall (di mana lagi anak jakarta jaman sekarang bisa bersenang-senang :p). 

Jadi, jangan anggap enteng pendapat para aktivis mengenai bahaya promosi dan dampaknya terhadap perilaku anak. Lebih penting lagi, jangan anggap enteng perkembangan otak anak-anak ;)

Friday, January 30, 2009


MUAL KARENA HAMIL: SUDAH BIASA, 
MUAL KARENA NONTON BERITA: TIDAK BIASA

Sekitar jam 19.00 kemarin, perut saya mual rasanya gara-gara menyaksikan salah satu berita di METRO TV. Berita singkat itu melaporkan seorang anak di Balikpapan yang dipenjara (di penjara orang dewasa) karena mencuri sepeda. 

Mual karena sang hakim, mau-maunya direkam saat persidangan anak-anak. Mual karena METRO TV bisa-bisanya menayangkan rekaman gambar anak usia 9 tahun yang di sidang dan meronta-ronta di pangkuan ibunya saat dijatuhkan vonis oleh sang hakim. 

Si anak barangkali terbukti mencuri yang bukan miliknya. Pertanyaan saya, siapa yang mencuri hati nurani sistem peradilan (atau praktisi hukum) & sistem pers (atau pekerja media) di Indonesia sampai tega-teganya menyiarkan berita tersebut lengkap dengan rekaman gambarnya?